Masyarakat Adat Berperan Kelolah Hutan

Masyarakat Adat Berperan Kelolah Hutan

Hutan adalah kehidupan inti masyarakat adat. Jika hutan diusik, masyarakat adat pasti langsung bereaksi. Kasus dibeberapa wilayah adat sudah membuktikan bagaimana masyarakat adat kehilangan kontrol atas hutan adatnya. Penerapkan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan turunannya telah menimbulkan gejolak pada masyarakat adat. Tak ada solusi lain selain mengembalikan kontrol atas hutan adatnya ke masyarakat adat.

Demikian semangat pembuka pada sarasehan KMAN IV dengan tema Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas di Aula Padamara. Masuknya perusahaan ke wilayah adat, telah membuat penolakan dan konflik panjang antar masyarakat adat. Tak jarang penolakan ini justru berakhir dengan ancaman dan darah masyarakat adat itu sendiri.

“Sekarang ancaman-ancaman yang datang dari luar seperti kelapa sawit. Kami di kecamatan Embaloh Hulu telah mengambil sikap kepada Bupati untuk menolak keberadaan PT Sawit di kecamatan Embaloh Hulu, ” terang Rengga, anggota masyarakat adat Sungai Utik, Kalbar.

Perusahaan itu banyak ter-legitimasi terdorong UU diatas melalui ijin-ijin pemerintah, tak hanya urusan sawit. Namun merata pada sumberdaya hutan lainnya. Sperti yang terjadi di Muara Tae. Perusahaan telah menginvasi wilayah adat mereka. Baik itu untuk mengambil kayu, mengeruk batubara dan membuka hutan untuk kelapa sawit.

“Kondisi masyarakat adat waktu itu belum tahu bagaimana cara melakukan perlawanan terhadap perusahaan itu. Melihat mesin gusur ladang gusur apa saja mereka diam karena mereka mengandalkan ijin dari pemerintah pusat, ” ungkap Asui.

Kontrol ini kemudian diterjemahkan dengan membangun langkah strategis untuk pembaharuan hukum dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dibidang kehutanan. Seperti yang dilakukan perkumpulan Telapak melalui Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat atau Komunitas. Dalam prakteknya upaya kemudian disebut Community Logging (Comlog).

Community Logging adalah sebuah sistem pengelolaan hutan dimana pengelolaan kayu, hasil hutan non kayu, dan jasa lingkungan dilakukan secara lestari dan berbasis masyarakat.

“Terpenting dari kita membangun semangat Community Logging dalam kondisi masyarakat adat, setidak-tidaknya kelembagaan adat itu masih aktif, mengetahui dan memahami bagaimana wilayah adatnya. Hukum-hukum adat masih ada dan berlangsung didaerah tersebut, ” jelas Khusnil Zaini, Ketua Badan Perkumpulan Telapak.

Community logging dilakukan secara komunal dan terorganisir pada kawasan hutan yang berstatus hutan negara, hutan adat, dan yang berstatus hutan hak. Pada kawasan hutan negara, peluangnya berkegiatan di kawasan hutan negara dengan fungsi produksi.

Dampak positif yang dihasilkan, selain tercapainya potensi dan kondisi hutan yang memadai untuk dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan, tentunya juga mampu meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). [KJPL]

Berita Lainnya

Leave a Comment